Tentang BPR
Pada awal dekade 1970an, Teologi Pembebasan mulai berkembang dari Amerika Latin yang dengan cepat cepat mewarnai Gereja-Gereja di dunia, termasuk Asia (Dewan Gereja Asia/DGA) dan kemudian sampai pula di Indonesia (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia/PGI) termasuk GBKP (Gereja Batak Karo Protestan). Teologi ini menyuarakan terjadinya pembebasan dari ketertindasan, termasuk juga ketertindasan finansial/kemiskinan. Pergumulan teologis di kalangan Gereja Indonesia mengenai hal tersebut tergambar dalam Konsultasi Teologi tahun 1970 di Sukabumi yang menghasilkan konsep “Pergumulan Rangkap” dan Sidang Raya DGI tahun 1971 di Pematang Siantar dengan thema : “Diutus Ke Dalam Dunia”. Dewan Gereja Asia menjabarkan lebih lanjut Teologi ini dengan melihat peran penting lembaga keuangan mikro seperti Credit Union dan Rural Bank (Bank Perkreditan Rakyat) sebagai alat yang efektif untuk pembebasan dari kemiskinan tersebut. Fenomena perkembangan Grameen Bank di Bangladesh yang digagas Prof. Muhammad Yunus kemudian menjadi inspirasi penting bagi implementasi Teologi ini.
Pendirian bank perkreditan rakyat di lingkungan pelayanan GBKP digagas oleh Pdt Borong Tarigan setelah pada tahun 1976 mengikuti kursus Dewan Gereja Asia yang diadakan di Filipina. Dalam pertemuan tersebut semakin kuat kesadaran bahwa Gereja bisa efektif berpartisipasi dalam pembangunan global, khususnya dalam rangka melawan kemiskinan, jika memiliki lembaga keuangan yang berorientasi pada kebutuhan jemaat dan masyarakat di sekitarnya. Gagasan tersebut juga disampaikan kepada rekan-rekan sesama Pendeta GBKP dan mendapat sambutan hangat terhadap tujuan pokoknya yaitu untuk melawan kemiskinan dengan memerangi praktek rentenir demi meningkatkan kesejahteraan jemaat dan masyarakat. Namun terhadap gagasan bahwa sarana yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut adalah bank perkreditan rakyat, banyak yang tidak antusias bahkan menentangnya. Kalangan yang berbeda pendapat menganggap bahwa Gereja belum siap untuk memiliki bank dan lebih baik memilih sarana koperasi/CU yang lebih sederhana.
Walaupun kontroversi masih terjadi namun gagasan Pdt. Borong Tarigan tersebut kemudian didukung penuh oleh rekan-rekannya terutama yaitu Pdt. DR. E.P. Gintings, Pdt Musa Sinulingga, Pdt. Selamat Barus, Pdt. Usman S. Meliala, dan Pt. Drs. Jhony Ginting. Pdt. Borong Tarigan yang kemudian menjadi Kepala Biro Padat Karya pada Departemen Partisipasi Pembangunan GBKP mengakomodasi gagasan untuk mengembangkan CU namun hal tersebut dilaksanakan tetap dalam rangka mewujudkan gagasan yang lebih besar yaitu pendirian Bank Perkreditan Rakyat yang mungkin lebih rumit daripada CU tetapi diyakini lebih kokoh secara manajerial dan lebih mampu meraih kepercayaan masyarakat.
Dalam perkembangannya, walaupun terdapat beberapa perbedaan pendapat namun secara umum telah muncul kesadaran di kalangan Pendeta GBKP bahwa praktek rentenir di Tanah Karo sangat merugikan dan menjajah masyarakat luas dan jemaat GBKP khususnya. Manakala perlawanan terhadap cengkeraman rentenir itu tidak dapat lagi sepenuhnya diharapkan dari pihak-pihak lain termasuk pemerintah maka Gereja perlu ikut terjun langsung untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pada sisi lain dana-dana yang dikelola Gereja untuk kesejahteraan sosial seringkali tidak bisa berkembang karena salah kelola. Karena itu muncul kesadaran bahwa Gereja perlu memiliki lembaga keuangan mikro yang baik dan kuat sebagai sumbangsih Gereja terhadap kesejahteraan masyarakat/jemaat dengan melampaui batas-batas suku, agama, ras, dan golongan (SARA).
Karena tidak ada rohaniwan GBKP yang memiliki pengalaman dan kemampuan teknis untuk mendirikan bank perkreditan rakyat maka gagasan yang telah ada sejak tahun 1976 tersebut tak kunjung terwujud. Baru pada tahun 1990 Pdt Borong Tarigan menemukan orang yang memiliki kemampuan tersebut, yaitu Mangara Pintor Ambarita, mantan Kepala Cabang BRI Kabanjahe, yang juga memiliki komitmen untuk memajukan lembaga keuangan mikro. MP Ambarita kemudian diundang dan diminta untuk secara teknis mewujudkan gagasan yang telah ada tersebut agar menjadi kenyataan. MP Ambarita kemudian membuat surat dan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pengurusan ijin prinsip dan ijin operasional PT BPR Pijer Podi Kekelengen.
Pada tanggal 23 Desember 1991 didirikanlahlah PT BPR Pijer Podi Kekelengen yang dituangkan dalam Akta no 60 Notaris Pagit Maria Tarigan, SH. Pada hari yang sama langsung pula dibuat pula surat pengajuan permohonan persetujuan prinsip pendirian PT. Bank Perkreditan Rakyat Pijer Podi Kekelengen kepada Departemen Keuangan RI dengan surat No. 001/BPR-PPK/1991 tanggal 23 Desember 1991 yang ditanda tangani oleh Pdt. Borong Tarigan. Surat tersebut kemudian diterima oleh Departemen Keuangan pada tanggal 27 Desember 1991 dan kemudian membuat surat balasan dengan surat nomor : S – 149/MK.13/1992 tanggal 28 Januari 1992 yang memberikan persetujuan prinsip pendirian bank perkreditan rakyat yang selanjutnya harus diikuti dengan pengajuan ijin operasional.
Persiapan demi persiapan terus dilakukan untuk melengkapi persyaratan pengajuan permohonan ijin operasional, namun kendala demi kendala terus juga mengiringi yang hampir menimbulkan keputusasaan. Surat permohonan ijin operasional diajukan kepada Departemen Keuangan dengan surat bernomor 002/BPR-PPK/1992 dan 003/BPR-PPK/1992 namun masih belum memenuhi syarat. Kemudian dengan bantuan Ir. Jusman Purba yang melakukan penyempurnaan proposal permohonan ijin operasional tersebut maka diajukan kembali permohonan ijin operasional kepada Departemen Keuangan melalui surat no. 04/BPR-PPK/1992 tertanggal 1 Oktober 1992. Surat tersebut akhirnya direspon oleh Departemen Keuangan RI dengan menerbitkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : Kep-081/KM.17.1992 tentang Pemberian Ijin Usaha/Operasional BPR Pijer Podi Kekelengen tertanggal 13 Nopember 1992. Sehubungan dengan persiapan-persiapan operasionalnya maka baru pada tanggal 11 Januari 1993, PT BPR Pijer Podi Kekelengen memulai operasionalnya kepada publik.
Seiring dengan perkembangan perusahaan maka Kantor Cabang juga dibuka antara lain di Berastagi (1995), Hamparan Perak (1996), Perumnas Simalingkar Medan (2002), dan Simpang Selayang Medan (2014). Pemegang saham pengendali perusahaan ini adalah Yayasan Ate Keleng Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) sementara itu Direktur Utama perusahaan ini pada awal berdirinya yaitu MP Ambarita dan Komisaris Utama yaitu Pt. Drs Johny Ginting. Para pegawai perdana ketika peresmian operasional perdana kepada publik 11 Januari 1993 adalah Amosi Telaumbanua SE, Erlinawaty Sukatendel BA, Ir. Ester Murniati Tarigan, Dra. Etna Rosini br Barus, Helpiani Kaban, Dra Jubileum Sinulaki, Dra. Leleh Ginting, Dra. Lusia Peranginangin, Dra. Muriati Ginting, Robin Sinuraya BBA, Dra. Rosianna Sembiring, dan Dra. Srimalasinha Sebayang. Seiring dengan perkembangan perusahaan terdapat pula penambahan anggota Direksi, antara lain: Ir Rido Tarigan (1997), Amosi Telaumbanua, SE (2000), dan Pdt. Bumaman Teodeki Tarigan, S.Si, SIP (2008).
Dewan Komisaris BPR-PPK sejak awal berdirinya sampai saat ini terdiri dari rohaniwan GBKP. Regenerasi Dewan Komisaris terjadi pada tahun 2006 dengan pengunduran diri Pdt. Borong Tarigan (Komisaris Utama) dan Pt. Drs Johny Ginting (Komisaris Anggota) Bersamaan dengan itu Pdt. Agustinus Pengarapen Purba diangkat sebagai Komisaris Anggota yang baru dan Pdt. Dr. EP Gintings diangkat menjadi Komisaris Utama. Regenerasi kembali terjadi pada tahun 2010 dengan berhentinya DR. M.P. Ambarita (Direktur Utama), Pdt. DR. E.P. Gintings (Komisaris Utama) dan Pdt. U.S. Meliala (Komisaris Anggota).
Pada awal berdirinya, BPR ini hanya memiliki modal dasar sebesar Rp. 50 juta dimana hanya Rp. 28 juta dalam bentuk uang tunai. Pada saat ini (September 2016), total asset perusahaan telah mencapai Rp. 131,2 miliar. Pemegang Saham Pengendali BPR ini adalah Yayasan Ate Keleng GBKP. Susunan kepengurusan saat ini yaitu Pdt. Agustinus Pengarapen Purba (Komisaris Utama), Pdt. Selamat Barus (Komisaris Anggota), Ir. Rido Tarigan (Komisaris Anggota), Pdt. Bumaman Teodeki Tarigan, MM (Direktur Utama), Amosi Telaumbanua, SE (Direktur Operasional), dan Drs. Rendra Amor Ginting (Direktur Pengawasan).
Selama 5 tahun berturut-turut (2011-2015), BPR kita mendapatkan Infobank BPR Award dari Majalah Infobank, majalah ekonomi – perbankan terkemuka di Indonesia. Pada tahun 2013 kita juga berhasil meraih Anugerah BPR Indonesia (ABPRI) Award untuk 3 kategori yaitu Human Capital, Marketing, dan Finance serta pada tahun 2014 meraih peringkat 2 dalam Corporate Social Responsibility dan peringkat 2 The Most Strategic CEO. Pada saat ini seluruh kantor PT BPR Pijer Podi Kekelengen telah terhubung secara online dan didukung oleh lebih dari 130 unit mesin Electronic Data Capture (EDC) untuk melayani nasabah, khususnya apabila melakukan transaksi di luar kantor.